Jhon Sung |
Pendeta ini berpenampilan unik. Ia kurus kecil. Rambutnya pendek dan selalu terurai di dahi. Mukanya pucat dan selalu menunduk. Ia selalu berpakaian kemeja putih sederhana model Tiongkok kuno. Ia tidak suka tersenyum sana-sini atau berbasa-basi. Sifatnya ketus dan menyendiri. Ia pemalu. Tapi kalau berkotbah, tiba-tiba ia menjelma menjadi nabi yang berapi-api. Orang datang berduyun-duyun sampai gedung gereja melimpah ruah. Itulah Dr. John Sung dari Tiongkok yang membuat ratusan ribu orang Indonesia pada tahun 1935-1939 menerima Injil Kristus.
Siapakah John Sung? Ia lahir dengan nama Sung Siong Geh pada tahun 1901 di sebuah desa miskin di propinsi Fukien di Tiongkok Tenggara. Ayahnya pendeta Gereja Metodis. Ibunya buruh tani. Mereka sekeluarga bertubuh lemah dan sering sakit.
Sejak kecil Sung sudah berwatak unik. Ia gesit dalam segala hal. Ia keras kepala dan tidak bisa sabar. Ia mudah marah. Ia sering memberontak kepada ayahnya. Ia pernah menjatuhkan diri ke sumur. Ia pernah menabrakkan diri ke buyung besar sehingga buyung itu hancur. Setiap kali ia dicemeti ayahnya ia tidak pernah menangis, ia malah heran bahwa justru ayahnya yang menangis setelah itu.
Sung tampak lebih unik lagi di sekolah. Kecedasannya melewati batas wajar. Ia bisa mengingat tiap kata dari tiap buku yang dibacanya. Ia sudah hafal kitab Mazmur, Amsal, dan kitab kitab Injil. Ia suka menulis karangan yang menentang penjajah Jepang. Ia suka ikut ayahnya melayani kebaktian di desa desa lain. Kalau ayahnya sakit, Sung yang baru berusia 12 tahun sudah bisa menggantikan ayahnya menjelaskan Alkitab dari atas mimbar.
Pada usia 18 tahun Sung berlayar ke Amerika karena mendapat beasiswa bintang pelajar di seluruh provinsi. Ia belajar kimia di Wesleyan University di Ohio. Untuk ongkos hidup ia bekerja sebagai pembersih sampah dan pembersih mesin pabrik. Ia lulus sebagai mahasiswa nomor satu. Surat kabar di Amerika dan Eropa melaporkan prestasi jenius ini.
Namun, Sung tetap gelisah mencari arti hidup. Apa faedah hidupku bagi orang lain? Apa kehendak Tuhan dalam hidupku? Ia bangun pukul 4 setiap pagi untuk mencari kedekatan dengan Tuhan. Ia sering merenungkan cinta Tuhan Yesus memberi makan ribuan orang menurut Matius 14: 13-21. Anak kecil dalam cerita itu memberi lima roti dan dua ikan. Apa yang aku punya untuk diberikan kepada TUHAN? Aku punya sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki. Itu bisa aku berikan! tetapi bagaimana caranya? Sung termenung memikirkan nasihat Rasul Paulus: "supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah" (Roma 12:1).
Sementara itu, studi Sung berjalan terus. Ia diterima di Ohio State University. Program Master of Science ditempuhnya hanya dalam sembilan bulan, padahal ia bersekolah sambil bekerja sebagai pemotong rumput di jalan dan aktif dalam gerakan mahasiswa menentang diskriminasi rasial.
Sesudah itu Sung mengambil program doktor. Persyaratan bahasa Prancis dan Jerman dipenuhinya dengan belajar sendiri cukup dalam satu bulan. Ia lulus dengan gemilang dan menjadi doktor ilmu kimia hanya dalam tiga semester. Semua surat kabar Amerika dan Eropa mencatat rekor jenius ini. Banyak perusahaan raksasa menawarkan lowongan kepada Sung. Bahkan pemerintah Jerman membujuk dia untukmengembangkan riset teknologi roket.
Sung menolak semua tawaran itu. Lalu ia masuk sekolah teologi. Program tiga tahun di Union Theological Seminary di New York ditempuhnya dalam waktu satu tahun. Namun, sementara itu tubuhnya semakin lemah dengan penyakit asma, paru-paru, jantung. dan khususnya mata.
Pada suatu siang Sung mengalami gangguan mental. Ia dirawat di rumah sakit jiwa. Selama 193 hari di rumah sakit itu ia menelaah 1.189 pasal Alkitab dari Kejadian 1 sampai Wahyu 22 sebanyak 40 kali dengan 40 sudut eksegese yang berbeda. Ia keluar rumah sakit sambil membawa 40 naskah eksegese dalam bahasa Inggris dan mandarin.
Di sekolah teologi Sung membuat keputusan untuk mengkristalkan pergumulan spiritualitasnya dalam bentuk meninggalkan ilmu kimia lalu menyerahkan jari tangan dan kaki, serta kedua telinga, mata, tangan dan kakinya untuk memperkenalkan Injil di Asia. Ia tahu bahwa sebagai kimiawan pun bisa menjadi saksi Kristus, namun ia memilih jalan lain.
Tahun 1927 Sung pulang ke Tiongkok. Ia langsung bergiat dalam perkabaran Injil dan pembinaan kader kader awam sebagai pemberita Injil. Sepanjang tahun ia terus berpergian. Sebab itu, ia tidak mau menikah. Namun, adat kuno keluarga mewajibkan dia menikah dengan seseorang yang belum dikenalnya sama sekali. Dari pernikahan ini lahir lima orang anak, namun Sung hampir tidak mengenal anak-anaknya ini. Kemudian Sung mulai mengabarkan Injil ke negara negara Asia.
Pada tahun 1939, ia beberapa kali datang ke Indonesia. Acara pemberitaan Injil ini disebut "Serie Meeting" yang terdiri dari 22 pemahaman Alkitab atau khotbah tiap pagi, petang, dan malam selama tujuh hari. "Serie Meeting" ini diadakan di Surabaya, Madiun, Solo, Magelang, Purworejo, Yogyakarta, Cirebon, Bandung, Bogor, Jakarta, Makasar, Ambon, dan Medan. Khotbahnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pokok pembahasannnya bersambung. Cara penyampaiannya jelas, sederhana, dan memikat. Ia sering menggunakan papan tulis dan alat peraga. Sasarannya adalah orang-orang yang belum pernah mendengar berita Injil.
Hasilnya memang luar biasa. Ribuan orang dengan setia mengikuti 22 pertemuan itu. Pada tiap pertemuan ribuan Alkitab, nyanyian rohani, dan buku renungan terjual habis. Di tiap kota, gereja-gereja membentuk komite tindak lanjut karena ribuan orang mendaftar untuk mengikuti katekese.
Watak Sung sejak masa kecilnya tetap tampak. Ia serba cepat dan tidak sabar. Ketika memasuki ruang yang gaduh ia langsung menggebrak meja sambil berteriak, "Apa ini ruang ibadah atau gedung komedi?" Di tempat ia menginap, dituntutnya suasana sunyi. Ia meminta seisi rumah itu bangun pukul 4 pagi dan berdoa untuk pertemuan "Serie Meeting" hari itu. Ia menolak pemberian atau hadiah dalam bentuk apa pun. Kalau diajak mengobrol atau berbasa basi ia langsung menegur dengan ketus, "Jangan ganggu pikiran saya!"
Kekuatan tubuh Sung semakin rapuh. Perang dunia dan kemiskinan yang melanda Tiongkok menekan dia. Berkali-kali ia masuk rumah sakit untuk pengobatan dan pembedahan. Pada tahun 1944 dalam usia 42 tahun Sung meninggal dunia. Di kalangan akademik ia dikenang sebagai kimiawan jenius calon pemenang hadiah Nobel untuk ilamu kimia. Namun, di hati banyak orang lain, ia dikenang sebagai pembawa berita Injil.
Generasi masa kini gereja di Indonesia tidak mengenal John Sung. Tetapi sebenarnya banyak di antara kita merupakan buah dari benih Injil yang ditaburkan Sung kepada generasi-generasi pendahulu kita. Ayah dan ibu saya pertama kali mendengar berita Injil pada "Serie Meeting" John Sung di Bandung pada tahun 1939. Ketika itu, saya masih berada dalam kandungan lima bulan. Kemudian ketika masa remaja saya diberi buku oleh seorang "zendeling" yang pulang ke Belanda, yaitu Cornela Baarbe. Buku itu adalah karangannya sendiri. Isinya tentang John Sung. Judulnya, "Dr. Sung Een Reveil op Java" terbitan Voorhoeve Den Haag. Zendeling ini dulunya adalah komite penyelenggara "Serie Meeting" John Sung. Lalu zendeling itu dengan perasaan haru memberikan kepada saya sehelai potret John Sung yang ditandatangani sendiri oleh John Sung. Karangan ini saya tulis sambil memandangi potret itu.
Sumber: Judul buku | : | Selamat Berkembang: 33 Renungan tentang Spiritualitas |